“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya
kamu dicintai Allah. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia,
niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.” (HR. Ibnu Majah. Ibnu Hajar berkata dalam Bulughul Maram, isnadnya hasan).
Pengertian zuhud adalah berpalingnya keinginan terhadap sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya.
Zuhud terhadap dunia bukanlah dengan
mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan membuang harta. Tetapi
zuhud terdahap dunia adalah engkau lebih yakin dan percaya kepada apa yang di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu.
Juga engkau bersikap sama, baik ketika ditimpa musibah maupun tidak,
serta dalam pandanganmu, orang lain adalah sama, baik yang memujimu atau
yang mencelamu karena kebenaran.
Tingkatan Zuhud
Pertama,
Seseorang yang zuhud terdahap dunia,
tetapi ia sebenarnya menginginkannya. Hatinya condong kepadanya, jiwanya
berpaling kepadanya, namun ia berusaha untuk mencegahnya. Ini adalah mutazahhid (orang yang berusaha zuhud).
Kedua,
Seseorang meninggalkan dunia – dalam
rangka taat kepada Allah Ta’ala – karena ia melihatnya sebagai sesuatu
yang hina dina, jika dibandingkan dengan apa yang hendak digapainya.
Orang ini sadar betul bahwa ia berzuhud, walaupun ia juga
memperhitungkannya. Keadaan pada tingkatan ini seperti meninggalkan
sekeping dirham untuk mendapatkan dua keping dirham.
Ketiga,
Seseorang yang zuhud terhadap dunia dalam
rangka taat kepada Allah dan dia berzuhud dalam kezuhudannya. Artinya
ia melihat dirinya tidak meninggalkan sesuatupun. Keadaannya seperti
orang yang membuang sampah, lalu mengambil mutiara. Perumpamaan lain
adalah seperti seseorang yang ingin memasuki istana raja, tetapi
dihadang oleh seekor anjing di depan pintu gerbang. Lalu ia melemparkan
sepotong roti untuk mengelabui anjing tadi. Dan ia pun masuk menemui
sang raja.
Begitulah, setan adalah anjing yang
menggonggong di depan pintu gerbang menuju Allah Ta’ala, menghalangi
manusia untuk memasukinya. Padahal pintu itu terbuka, hijabpnya pun
tersingkap. Dunia ini ibarat sepotong roti. Siapa yang melemparkannya
agar berhasil menggapai kemuliaan Sang Raja, bagaimana mungkin masih
memperhitungkannya?
.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.
Diringkas dari buku
Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauiyyah, Imam
al-Ghazali, Putaka Arafah dengan sedeikit perubahah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar